Jakarta, EKOIN. Sidang yang berlangsung di Ruang Sidang Dr. HM. Hatta Ali, SH, MH ini menghadirkan lima saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk memberikan keterangan terkait para terdakwa, yaitu Herman, Abdulhadi Avicena, Abi Anwar, Tutik Kustiningsih, dan Dody Martimbang. Sidang dipimpin oleh Hakim Ketua Deny Hasan, dengan dua hakim anggota, Purwanto dan Ali Muktharo.
Sidang dimulai pukul 11:29 WIB dengan agenda mendengarkan kesaksian para saksi. Salah satu saksi, Ari Prabowo Ariotejo, mantan Direktur PT Antam periode 2017-2019, memberikan kesaksian mengenai kebijakan “lebur cap”. Ia menjelaskan bahwa tidak ada tekanan atau paksaan dalam pengadilan. Menurutnya, PT Antam mengalami kerugian sebesar Rp 400 miliar akibat perbedaan harga jasa peleburan emas. “Harga lebur cap saat itu Rp 5 juta per kilogram. Jasa lebur cap sebenarnya tidak merugikan PT Antam, tetapi menciptakan kompetitor yang akhirnya mengalahkan PT Antam dalam penjualan emas,” ujar Ari.
Ia juga menekankan bahwa lebur cap bukanlah core bisnis PT Antam, melainkan bagian dari hilirisasi bisnis. “Sejak PT Antam Go IPO pada tahun 1997, lebur cap sudah ada. Namun, untuk kerja sama dan kontrak, harus ada izin usaha pertambangan (IUP),” tambahnya. Ari mengungkapkan bahwa saat itu, PT Antam hanya memiliki stok emas sebesar 2 ton, jauh dari target 10 ton. Ia mengaku tidak mengetahui tarif jasa pemurnian emas yang diberlakukan PT Antam.
Saksi lainnya, Hariwijayanto, yang menjabat sebagai Direktur Operasional PT Antam pada 2017-2019, juga memberikan kesaksiannya. Ia menyatakan bahwa Abdulhadi Avicena dan Dody Martimbang selaku General Manager Logam Mulia PT Antam mengajukan anggaran kepada komisaris dan direksi di awal tahun, yang kemudian dikoreksi oleh dewan direksi. “Secara teknis, saya belum memahami sistem lebur cap dan pemurnian emas. Namun, saya tahu bahwa pemurnian emas hingga mencapai kadar 99,99% dilakukan melalui prosedur ketat dan harus disertai sertifikat,” katanya.
Hariwijayanto juga menjelaskan perbedaan antara kontrak karya dan non-kontrak karya. “Kontrak karya adalah hasil emas yang berasal dari IUP yang sah, sedangkan non-kontrak karya berasal dari pertambangan yang tidak memiliki IUP dan tidak boleh dilebur,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa lebur cap sebenarnya berpotensi memberikan keuntungan lebih besar, tetapi justru dihentikan oleh direksi. “Pada tahun 2017, saya melihat ada potensi keuntungan dari lebur cap untuk PT Antam, tetapi keuntungan terbesar justru dinikmati oleh pihak ketiga,” katanya.
Dalam sidang ini, saksi juga menegaskan bahwa audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dilakukan secara rutin setiap tahunnya. Menurut Hariwijayanto, semua kadar emas yang diproduksi PT Antam adalah 99,99% dan bahan bakunya harus memiliki sertifikat. Ia juga mengaku mengenal dua terdakwa, Herman dan Tutik Kustiningsih, karena keduanya pernah menjadi atasannya di PT Antam.
Sidang berlangsung dengan tertib hingga selesai. Hakim meminta JPU untuk menghadirkan saksi-saksi tambahan dalam persidangan selanjutnya. (*)