LONDON, EKOIN.CO – Pemerintah Inggris menghadapi gugatan hukum dari kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM) karena terus mengekspor komponen jet tempur F-35 ke Israel, meski mengakui hal itu melanggar undang-undang ekspor senjata mereka sendiri. Sidang kasus ini dibuka di pengadilan London pada Selasa (13/5/2025) dan akan berlangsung selama empat hari.
Menurut dokumen yang diajukan ke pengadilan, seperti dilaporkan The Guardian, pemerintah Inggris menyatakan bahwa mempertahankan peran mereka dalam program jet F-35 lebih penting daripada mematuhi aturan ekspor senjata yang melarang pengiriman jika ada risiko pelanggaran hukum humaniter internasional.
Gugatan dari LSM HAM
Kasus ini diajukan oleh Al-Haq, organisasi HAM Palestina, bersama Amnesty International, Human Rights Watch, Oxfam, dan Global Legal Action Network (GLAN). Mereka menuntut agar Inggris menghentikan ekspor suku cadang F-35 yang digunakan Israel dalam serangan di Gaza.
Pada September 2024, Inggris sempat menangguhkan 30 lisensi ekspor senjata ke Israel, tetapi memberi pengecualian untuk komponen F-35. Menteri Pertahanan John Healey saat itu berargumen bahwa menghentikan pasokan suku cadang F-35 akan mengganggu program global dan membahayakan keamanan NATO.
F-35 dan Peran Inggris
Inggris adalah pemasok terbesar kedua komponen F-35 setelah AS, menyumbang 15% nilai produksi, termasuk kursi pelontar, sistem senjata, dan badan pesawat. Suku cadang ini dipasok melalui British Aerospace (BAE) ke Lockheed Martin, produsen utama F-35.
Namun, pengacara Al-Haq, Jennine Walker, menyatakan bahwa argumen pemerintah Inggris tidak masuk akal. “Mereka bisa menghentikan pasokan ke Israel tanpa mengganggu program global. Yang benar-benar mengancam perdamaian adalah pelanggaran hukum humaniter ini,” tegasnya.
Dampak F-35 di Gaza
Charlotte Andrews-Briscoe, pengacara lain yang mewakili Al-Haq, menyebut F-35 sebagai alat kunci dalam serangan Israel di Gaza. “Pesawat ini menyebabkan kematian massal dan mendukung operasi darat yang memblokade pasokan makanan,” ujarnya.
Ia merujuk pada serangan Israel pada 18 Maret 2025 yang menewaskan lebih dari 400 orang, termasuk 183 anak-anak. “Pilot Israel telah melakukan 15.000 jam terbang sejak Oktober 2023. F-35 adalah tulang punggung serangan mereka,” tambahnya
Peringatan Soal Genosida
Yasmine Ahmed dari Human Rights Watch mengecam sikap Inggris yang mengabaikan risiko genosida. “Konvensi Genosida mewajibkan semua negara mencegah kejahatan ini. Tapi Inggris malah memilih bisnis senjata,” katanya.
Sidang ini diharapkan menjadi ujian bagi komitmen Inggris terhadap hukum internasional. Jika pengadilan memutuskan pemerintah melanggar aturan ekspor senjata, tekanan untuk menghentikan pengiriman F-35 ke Israel akan semakin besar.( Gambar diambil dari Merdeka com )