JAKARTA – EKOIN.CO Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali tertekan di zona merah pada perdagangan Selasa (4/3). IHSG turun 129,25 poin atau 2,14% ke level lebih rendah dibandingkan sesi sebelumnya.
Sepanjang perdagangan hari itu, investor asing mencatatkan net buy sebesar Rp 593,91 miliar. Namun, secara keseluruhan sejak awal tahun, investor asing masih mencatatkan net sell sebesar Rp 21,44 triliun. Kondisi ini mencerminkan adanya tekanan besar dalam pasar saham Indonesia, baik dari faktor global maupun domestik.
Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia, Budi Frensidy, menilai terdapat beberapa faktor yang menekan pergerakan pasar saham dalam negeri. Salah satunya adalah kebijakan kepemimpinan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang memberikan dampak terhadap ekonomi global.
Selain itu, keputusan Morgan Stanley yang menurunkan peringkat indeks MSCI Indonesia turut menjadi tekanan bagi pasar. “Tekanan juga datang karena re-alokasi anggaran untuk Makan Bergizi Gratis dan BPI Danantara yang tidak memihak makroekonomi serta UMKM,” ujar Budi kepada Kontan, Selasa (4/3).
Selain faktor global, investor juga mencermati turunnya daya beli masyarakat yang berdampak pada kondisi ekonomi domestik. Menurut Budi, terdapat tren penurunan kelas ekonomi, di mana banyak masyarakat kelas menengah yang mengalami penurunan daya beli. Hal ini berpengaruh pada kinerja emiten di pasar modal yang bergantung pada konsumsi masyarakat.
Faktor lain yang menjadi sorotan adalah relokasi pabrik milik perusahaan asing ke negara lain, yang mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). “Indeks merupakan indikator pasar keuangan yang biasanya mengikuti sektor riil. Di mana, gemuknya kabinet, maraknya korupsi, dan prospek industri sektor riil masih akan berpengaruh besar,” ungkap Budi.
Sementara itu, Executive Director JP Morgan Indonesia, Henry Wibowo, menyoroti kurangnya likuiditas di pasar modal Indonesia. Ia menilai bahwa agar Indonesia dapat bersaing di indeks global, diperlukan perbaikan dalam aspek kapitalisasi pasar, likuiditas, dan free float.
“Untuk Indonesia bisa memenangkan indeks global ada tiga aspek, yaitu kapitalisasi pasar, likuiditas, dan free float. Tapi menurut saya salah satu yang penting ialah likuiditas,” kata Henry.
Henry menjelaskan bahwa Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah melakukan berbagai inisiatif guna meningkatkan likuiditas. Namun, menurutnya, masih terdapat banyak ruang untuk perbaikan. Saat ini, dari sekitar 900 saham yang tercatat di BEI, hanya puluhan saham yang aktif diperdagangkan.
“Setiap hari yang transaksinya di atas US$ 10 juta bisa dihitung jari, dan itu biasanya saham perbankan, Astra, beberapa emiten konsumer, serta GOTO. Sisanya rata-rata di bawah US$ 10 juta,” ujarnya.
Henry juga menambahkan bahwa likuiditas yang rendah menyulitkan investor institusi dalam bertransaksi. “Bayangkan kalau mereka mau beli saham yang likuiditasnya cuma US$ 1 juta, ketika mau pasang posisi US$ 50 juta artinya mereka harus 50 hari membeli satu saham,” jelasnya.
Sebagai solusi, Henry menyarankan otoritas bursa untuk memberikan insentif guna meningkatkan likuiditas transaksi. Menurutnya, langkah ini akan memberikan dampak besar dalam menarik minat investor serta meningkatkan daya saing pasar modal Indonesia di tingkat global.